Konflik dengan Warga, Tanpa HGU PTPN XIV di Enrekang Mulai Tanam Sawit
Kategori : Berita Anggota Posted : Senin, 09 April 2018

Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

mongabay.co.id

9 April 2018

Oleh Eko Rusdianto [Enrekang]

https://www.mongabay.co.id/2018/04/08/konflik-dengan-warga-tanpa-hgu-ptpn-xiv-di-enrekang-mulai-tanam-sawit/

Konflik dengan Warga, Tanpa HGU PTPN XIV di Enrekang Mulai Tanam Sawit

Rahim merunduk dari pagar kawat yang membatasi lahan taninya dengan warga lain. Di depan, ada petakan kecil sawah tadah hujan. Pematang sudah ditapak. Dia duduk dan mengelus dan mencium padinya.

Di tengah lahan itu, selokan kecil sudah terbentuk. Gigi ban buldoser telah bekerja pada 7 Maret 2018. Kelapa, pisang, dan padi bertumbangan.

Tetangga kebun, Abdul Hafid, melihat peristiwa itu. Hendak menegur, takut. Ada puluhan Brimob, memegang senapan laras panjang.

“Saya sampai di kebun belum jam delapan pagi. Brimob itu sudah ada di sana. Ada yang duduk, ada yang berdiri,” katanya.

Ceritanya, sekitar pukul 09.00, bunyi kendaraan alat berat berwarna hijau, meraung dari kejauhan. Kenalpot di belakang ruang kemudi, mengeluarkan asap. Ban dari besi rantai besar, melewati sisi rumah kebun Rahim. Sedok menyerupai mangkok raksasa, menerjang pohon kelapa.

Orang-orang itu bekerja dengan leluasa. Ketika kendaraan hendak menerjang kebun jagung, Hafid baru mulai berbicara. “Ini kebun saya, bukan kebun Rahim,” katanya. Mobil itu mundur lalu menggilas kembali padi.

Rahim, sudah mendengar kesaksian itu berkai-kali, tak mampu membendung kesedihan. Matanya sembab. Dia tuangkan air ke gelas dan meneguk sekali. Ada desah panjang terdengar. Dia mengusap air mata.

“Tanggal 6 (Maret-red) itu, ada orang PTPN dan Brimob bilang kalau mau datang ke sawah. Dia minta memanen semua padi,” katanya.

“Saya bilang, itu tidak bisa. Karena belum masak. Kalau satu minggu lagi baru bisa,” kata Rahim.

“Kalau begitu, tunggu saya di sawah mu. Saya akan akan bongkar itu,” kata seorang karyawan PTPN XIV, ditirukan Rahim.

“Jadi saya ke sawah menunggu sampai mau magrib. Tidak ada yang datang. Saya pulang. Besok pagi, saya ke rumah keuarga ada acara kawinan. Ternyata, pagi itu orang-orang datang kasi hancur,”

“Istri dan anak saya, datang liat padi diinjak-injak. Tidak tahan. Dia menangis dan langusng pulang. Di jalan dia jatuh naik motor.”

Saya berdiri tepat di depan pintu gerbang PTPN XIV di Maroangin, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang. Ada plang nama, tertulis: PTP Nusantara XIV (Persero) Pabrik Tepung Ubi Kayu Maroangin. Itu hanya nama usaha puluhan tahun lalu.

Sekarang produksi tepung dan singkong sudah tak ada. Pada 2016, lahan itu berganti sawit.

Pos pengamanan di dekat gerbang, tak ada penjaga. Saya leluasa berkeliling di lahan perusahaan milik negara itu. Menapaki jalan berangkal batu. Melihat bekas pabrik yang reot. Melihat bangunan kantor, tak terawat. Tandon air karatan. Perumahaan karyawan penuh semak belukar.

PTPN XIV berdiri pada 14 Februari 1994, berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19. Ini hasil peleburan dari usaha perkebunan XXVII, XXXII, eks proyek perkebunan XXIII, dan PT Bina Mulia Ternak.

Dari PT Bina Mulia Ternak inilah, PTPN Maroangin berdiri. Di laman resmi PTPN, unit ini mengelola enam usaha peternakan sejak 1973 dengan luas 36.931 hektar. Masing-masing di Maroangin Enrekang, Sidrap, Wajo, dan Nusa Tenggara Timur.

“Jadi setelah ternak gagal, perusahaan tanam singkong. Setelah itu mati juga. Lalu ada investor masuk, tanam singkong lagi, tapi gagal lagi,” kata Muslimin Lamanda, karyawan PT Bina Mulia Ternak. Lelaki 73 tahun ini bekerja sejak 1975, sebagai mandor.

Pada papan pengumuman perusahaan, tertulis jenis usaha sebagai perkebunan, peternakan dan perikanan. Ternak-ternak perusahaan adalah sapi, ada ratusan. Ia datang dari Australia.

Di dekat kandang, ada beberapa kolam. Di lepas beberapa nila, tetapi tak banyak. Kolam itu, kata Muslimin, sebagai suplai air untuk ternak.

HGU PTPN XIV Maroangin–eks PT Bina Mulia Ternak–berakhir tahun 2003. Ketika masa izin berakhir, beberapa warga mulai memasuki lahan yang tak dikelola. Mereka menanam tanaman jangka pendek, seperti jagung dan padi. Ironis, perusahaan tak mengizinkan bahkan mengerahkan bantuan kepolisian mengusir warga.

Saparuddin, warga Maiwa, tak tinggal diam. Di lahan yang dia klaim milik sang kakek, dilepaskan beberapa sapi. Dia mendirikan rumah kebun. Perusahaan makin marah. Ancaman mulai datang. Kriminalisasi mulai gencar.

Pada Januari 2018, ketika Saparuddin di kebun kakao, enam Brimob mengepung rumah. Pasukan itu pakai sepatu boots, helm, dan senjata lars panjang. Pasukan menorobos masuk ke rumah. Seorang membentak istrinya, dan menanyakan keberadaan Saparuddin. “Istri saya antar itu Brimob ke kebun. Saya lihat mereka dan berhadapan,” katanya.

Saya melihat beberapa foto yang direkam sembunyi sang istri. Pasukan huru hara itu, memegang senjata yang dilekatkan ke tubuh. Mocong mengarah ke bawah. Saparuddin berdiri bertolak pinggang. “Saya suruh mereka pulang. Terlalu jauh mencari saya,” katanya.

“Apakah mereka datang untuk menangkap bapak?” kata saya.

“Tidak tahu. Tapi tidak juga kayaknya. Toh, mereka pulang. Mereka hanya bilang jangan masuk lagi ke wilayah perusahaan. Kalau kau masuk ke PTPN, saya akan layani,” kata seorang anggota Brimob ditirukan Saparuddin.

Akhirnya 2 Februari 2018, ratusan orang memasuki lokasi perusahaan. Mereka berunjuk rasa dan meminta perusahaan menghentikan segala kegiatan. Permintaan itu tak pernah terpenuhi. Pada 19 Maret 2018, saya menyaksikan penanaman sawit oleh perusahaan.

Sebelum unjuk rasa, Pemerintah Kabupaten Enrekang, telah mengirimkan surat peringatan untuk Direksi PTP Nusantara XIV. Surat ditandatangani Bupati Enrekang, Muslimin Bando menyatakan, jika HGU perusahaan berakhir sejak 2003 dan tak diperpanjang. DPRD Enrekang juga membentuk panitia khusus untuk penyelesaian konflik ini.

Nah, kalau begini, siapa sebenarnya yang harus ditenangkan dan dimankan? Saya heran, kita ikut pemerintah tapi perusahaan tidak membolehkan. Bikin bingung saja,” kata Saparuddin.

Secara hukum , Saparuddin, PTP Nusantara XIV (Persero) tidak berhak lagi beraktivitas di eks HGU di Moroangin. “Karena alas hak sudah tidak ada.”

Dia bilang, selama PTPN XIV menguasai lahan sekitar 40 tahun tak memberikan manfaat dan kontribusi baik kepada masyarakat maupun pemerintah daerah.

Dari berita Mongabay sebelumnya, Jimmy Jaya, Kepala Bagian Sekretaris Perusahaan PTPN XIV mengatakan, soal HGU, dalam masa perpanjangan setelah berakhir 2003.

HGU PTPN 1973-2003. Sesuai Permenag Agraria/Kepala BPN No 9/1999, katanya, dua tahun sebelum masa berlaku berakhir harus ajukan perpanjangan.

“Kita kemudian mengajukan perpanjangan pada 2001, sedang proses. SK belum turun karena ada kendala teknis dan non teknis yang harus diselesaikan sebelum clear and clean,” katanya.

Berbagai masalah teknis dan non teknis itu antara lain ada perubahan wilayah konsesi karena tumpang tindih dengan kawasan hutan, penolakan masyarakat dan kewajiban pajak yang diselesaikan.

Mengenai kewajiban pajak, kata Jimmy, masih ada tunggakan, namun utang dalam proses pelunasan. Dia akui masalah dengan keuangan (pajak) belum semua terbayar. “Kita ada tagihan 2002-2006 belum terbayar. Tagihan 2015-2016, sudah selesai semua,” katanya.

Pada 2003, Rahim mendengar informasi mengenai HGU sudah berakhir. Beberapa warga mulai masuk, menggarap tanah tak terurus. Bermodal sekop dan cangkul, dia mulai menggarap tanah tidur itu. Dia garap sawah beberapa are untuk keperluan sehari-hari. “Kalau padi bagus, saya bisa dapat tujuh karung,” katanya.

“Jadi, ada orang tanya, berapa kerugian? Saya tidak tahu, karena tak pernah jual itu hasil panen. Karena hanya setahun sekali. Untuk makan saja na biasa kurang, harus beli beras lagi,” katanya.

Menggarap lahan, cukup membuat Rahim bahagia. Pada 2003-2016, tak ada sedikit pun yang mengusik. Beberapa warga antusias.

Jelang 2017 awal, perusahaan mulai bergeliat dan pembibitan sawit. “Saya masih garap lahan, terus datang orang PTPN bersama Brimob memancang sawit di sawah. Saya cabut dan melawan,” katanya.

Waktu itu, ada tujuh Brimob. Rahim dituduh menerobos lahan perusahaan dan dinyatakan ilegal. “Siapa yang ilegal? Kan HGU sudah mati, kami masuk. Kalau memang masih ada HGU, saya keluar dengan senang hati,” ucap Rahim.

“Bukan kau yang harus lihat HGU itu,” bentak seorang Brimob, ditirukan Rahim.

“Jadi buat siapa? Pejabat? Harusnya kan petani, kami ini,”

“Banyak bicara kau,”

Dua orang Brimob mendekati dan memegang dia dari belakang. Kaki Rahim ditendang kala dia sedang duduk. Senjata mulai dikokang. “Kau siap mati?” kata Brimob mengarahkan moncong senapan.

“Iya, siap,”

“Ini benar-benar orang gila.”

Hari-hari Rahim penuh teror. Pematang sawah yang dia bangun dengan susah payah saban waktu selalu dibongkar. Dia menghitung ada empat kali. Pada hitungan kelima, itulah pada 7 Maret 2018.

Dua anaknya yang menenami saya melihat sawah yang berantakan, hanya bisa memandang. Taufik, Kelas 3 Tsanawiyah dan Aslan, Kelas 1 Tsanawiyah. “Saya ikut bantu juga bapak tanam padi. Saya suka ke sini. Tapi sudah hancur mi,” kata Taufik.

Bagikan

RELATED POST

Event

Pengunjung