Pemerintah Diminta Perbaiki Regulasi Terkait Kebakaran Lahan
Kategori : Berita DMSI Posted : Senin, 04 September 2017

sawitindonesia.com

4 September 2017

https://sawitindonesia.com/rubrikasi-majalah/berita-terbaru/pemerintah-diminta-perbaiki-regulasi-terkait-kebakaran-lahan/

Pemerintah Diminta Perbaiki Regulasi Terkait Kebakaran Lahan

JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah diminta mengevaluasi sejumlah kasus kebakaran lahan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Pasalnya, kebakaran yang terjadi karena mengatasnamakan kearifan lokal dan untuk kegiatan ekonomi. 

Prof. Supiandi Sabiham, Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) menyebutkan bahwa pemerintah seharusnya memahaki ada sejumlah regulasi yang salah alamat karena menghubungkan kebakaran dengan masalah lahan terutama gambut.

Yang terjadi di lapangan, kata Supiandi, adalah persoalan sosial. Disitulah negara bisa hadir untuk membantu kesejahteraan masyarakat supaya masalah kebakaran bisa terselesaikan,” kata Supiandi beberapa waktu lalu.

Regulasi yang berkaitan belum secara tegas mengatur pelarangan. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melarang membakar. Penegasan itu ada dalam pasal 69 ayat (1) huruf h.

Tetapi ada pengecualian dalam ayat 2 yang membuka peluang untuk melakukan pembakaran dalam membuka lahan.” Ketentuan diatur pada ayat (1) huruf h yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal didaerah masing-masing”.

Dengan mengatasnamakan kearifan lokal, dikatakan Supiandi, peran negara seharusnya hadir untuk mengawasi kegiatan masyarakat. Indonesia dapat mencontoh Malaysia yang mengijinkan pemnakaran untuk kearifan lokal. Tetapi di negeri Jiran kegiatan itu dilaporkan dan mendapatkan pengawasan ketat pemerintah supaya api dapat dikendalikan dan mencegah kebakaran.

“Bayangkan jika ada seribu kepala keluarga maka ada 2.000 ha lahan dibakar dan berpotensi menjadi bencana kebakaran. Ini dapat terjadi akibat tidak adanya kontrol pemerintah,” katanya.

Lebih disayangkan lagi, ketika bencana sudah terjadi terjadi, penerapan aturan strict liability (tanggung jawab mutlak) dalam UU 32/2009 hanya ditimpakan kepada satu pihak yakni korporasi. Padahal, seharusnya menjaga konsesi merupakan tanggung jawab yang sama.Kesiagaan korporasi sawit dan HTI menetapkan desa bebas api seharusnya bisa menjadi contoh bahwa tanggung jawab pengawasan ada pada semua pihak.

“Di situ ada korporasi, masyarakat, pemerintah daerah yang bahu membahu punya tanggung jawab bersama untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan,” kata Supiandi.

Ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Chaerul Huda menjelaskannl bahwa pemahaman tanggung jawab adalah kelanjutan dari perbuatan. Dalam hal ini, tanggung jawab mutlak bisa diberlakukan bagi korporasi apabila kebakaran dipicu kegiatan korporasi dan menghasilkan keuntungan.

Jika penyebab peristiwa adalah faktor lain misalkan ada masyarakat yang memancing disekitar kawasan konsesi korporasi dan tanpa sengaja menjatuhkan puntung rokok sehingga mengakibatkan kebakaran hal ini tidak bisa menjadi tanggung jawab korporasi.

Pemahaman keliru juga terjadi ketika api dari konsesi masyarakat merembet ke konsesi korporasi. Padahal korporasi telah berkomitmen dalam pencegahan kebakaran. Tetapi akibat faktor pemicu lain seperti cuaca api yang menyebabkan konsesi korporasi ikut terbakar, disinilah tanggung jawab mutlak tidak lagi berlaku.

Bagikan

RELATED POST

Event

Pengunjung